Tanpa Judul #Part1

Oktober 09, 2018



Bagian 1
Semua Tentang Keluarga

Malam sunyi, tepat jam 1 malam. Desaku telah tidur, bahkan penjaga siskamling tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin mereka sedang bergelung di dalam sarung yang hangat setelah menghabiskan kopi dan pisang goreng.

Aku hanya ingin segera sampai rumah. Terlalu lelah melewati kejadian hari ini. Sebelum pulang, aku tadi sempat ziarah ke makam Mbah Mutamakkin di Kajen. Suasana adem dan tenang di sana, membuat pikiranku ikut adem. Kebiasaanku begitu tiap ada masalah. Membacakan Surat Yasin dan tahlil di sana. Kemudian banyak-banyak berdo'a kepada Allah. Dengan begitu hatiku terasa lebih lapang, dan bisa pulang ke rumah tanpa memperlihatkan wajah penuh masalah.

Hal yang paling kuhindari adalah membuat dua perempuan yang kucintai khawatir. Ibu dan istriku. Mereka adalah perempuan yang paling tidak ingin aku sakiti. Jadi, aku harus pulang dengan wajah bahagia seperti biasa.

Rumah gulita ketika aku mematikan GL-Pro keluaran tahun 1992 ini. Hanya lampu di teras dan samping rumah yang menyala. Aku berjingkat, berharap tak ada yang terganggu dengan kepulanganku. Kamarku dan kamar ibu terlihat remang-remang dengan lampu panjar 5 watt. Segera kuambil wudlu di kamar mandi belakang, setelah menaruh motor kesayanganku di ruang tamu yang juga berfungsi sebagai garasi motor. Lalu sholat dua rakaat di musholla rumah.

Sholatku terasa syahdu malam ini. Entahlah. Saat ada masalah, terasa sekali bahwa kita memang membutuhkan Tuhan. Di saat lapang dan tanpa masalah, Tuhan seperti tak terlihat oleh kita. Saat ini aku bahkan bisa menangis dalam do'aku. Hal yang sulit kulakukan biasanya.

Aku terkejut ketika merapikan sajadah, mendapati ibu telah sholat di belakangku. Masih berdo'a dengan khusyu'. Aku pasti tadi terlalu fokus pada do’a-do’aku sampai tak mendengar ibu telah bangun. Kupandangi wajah tuanya dengan sedih. Ada do’a dalam hati, semoga beliau selalu berbahagia hingga akhir hayatnya.

Segera kucium tangan ibu, seusai beliau mengakhiri do'anya.

"Ibu selalu berdo'a, semoga kamu sukses dunia akhirat, Le," bisiknya sambil mengelus kepalaku lembut.

Aku tergugu. Hanya bisa menangis dalam hati. Kemudian aku pamit untuk masuk kamar, sebelum beliau merasakan masalahku. Biasanya hati beliau sensitif jika berhubungan dengan anak-anaknya.

Di kamar, aku memandang wajah ayu yang sedang tidur dengan nyaman di hadapanku. Ada yang bergolak di dadaku. Haruskah aku menceritakan semua perih ini padanya? Ah, aku tak tega. Aku memintanya mendampingiku untuk bahagia, maka aku tak ingin memberinya kesedihan. Tetapi aku juga ingin membagikan beban yang terasa berat ini.

***---***

Tiba-tiba dia membuka mata, ketika aku menikmati tiap centimeter wajahnya. Rambutnya, dahinya, hidungnya, pipinya, bibirnya, semua yang begitu indah.

"Ono opo leh, Mas? Sampe isin aku dideloki," kata Imah, istriku itu dengan manja. Dia tetap ayu meski baru bangun tidur.

"Kowe ki kok ayu men to?" kataku menggoda. Masalah yang tadi menggelayuti hilang seketika.

"Halah, ngapusi," Imah mencibir, masih dengan manjanya.

"Bocah iki, dikandani malah ngomong ngapusi," gemasku sambil beringsut menciumnya. Tapi aku kalah dengan kedua tangan Imah yang dengan cepat menutupi mukanya. Dan bibirku hanya mendapati punggung tangannya yang halus.

"Aku lagi prei, Mas. Maaf." Imah menatapku dengan penuh penyesalan.

Aku hanya bisa tersenyum kecut. Lalu berbaring di sebelahnya. Tak ada pembicaraan untuk sesaat.

"Menurutmu, kalau seorang suami punya masalah, apa ia harus cerita sama istrinya?" akhirnya aku bertanya untuk memancing pendapatnya.

"Lho, memang siapa yang punya masalah?" Imah menatap ke arahku.

"Bocah iki ditakoni kok malah takon," aku jadi gemas dan langsung mencium pipinya.

Imah mengusap pipinya. "Cuma nanya, kok."

Hening.

“Istri itu pakaian untuk suami, dan suami itu pakaian untuk istri. Pakaian itu harus membuat nyaman. Menurutku, suami istri itu harus saling terbuka, saling menjaga. Suka dan duka harus diselesaikan bersama-sama," kata Imah memecah keheningan.

"Tapi suaminya tidak ingin menambah beban pikiran istrinya," kataku berargumentasi.

"Pada akhirnya, istrinya itu pasti akan tahu masalah suaminya. Daripada mendengar dari orang lain, lebih baik mendengar dari suaminya sendiri kan? Biar tidak menimbulkan salah paham" jawab Imah lagi.

"Kalau aku begitu. Aku akan dengan sabar mendampingi suamiku. Kesulitan jika dilewati berdua, pasti akan lebih ringan," lanjut Imah dengan yakin.

"Begitu ya?" tanyaku pelan. Pandanganku di langit-langit kamar. Masih ragu untuk menyampaikan.

"Ya begitu," kata Imah sambil memiringkan badannya ke arahku.

Tiba-tiba dia menciumku dengan cepat. Dan dengan cepat pula ia lari menuju pintu kamar sambil berkata, "Mas, aku tak sholat sik, ya. Aku ra prei. Keno kono tak apusi," kata Imah sambil cekikikan.

Aku hanya tersenyum dengan keusilan Imah. Kami memang biasa saling mengusili. Mungkin karena itu aku tak pernah bisa jauh-jauh darinya. Ada acara 2 hari di Semarang saja aku sudah merindukannya setengah mati. Atau mungkin ini karena kami masih pengantin baru? Baru 4 bulan yang lalu kami menikah. Dijodohkan oleh orang tua. Meski begitu, cinta cepat hadir di tengah hati kami. Mungkin ini berkah manut pada orang tua.

***---***
Aku jadi mengingat saat pertama kali aku bertemu dengan Imah waktu itu. Paklek Kholik mengajakku ke rumah sahabatnya di Waturoyo untuk "nontoni" Fathimah Az-Zahra, putri sahabatnya.

Tentu saja Paklek Kholik sudah cerita tentang Imah sebelumnya. Dia itu menghabiskan masa sekolahnya di Kajen. Setelah lulus Aliyah, ia menghafalkan Al-Qur'an di Sarang, Rembang. Ia sudah diuji hafalannya oleh bu nyai - bu nyai hafidzoh di Sarang sana. Jadi, saat ini Imah sudah mendapatkan ijazah sebagai hafidzoh.

Sejujurnya aku deg-degan menantikan Imah keluar dari ruang belakang. Maka ketika ia keluar membawa baki berisi gelas-gelas teh, aku bahkan tak berani melihatnya. Aku juga heran dengan diriku sendiri. Waktu di kampus, aku ini aktivis yang biasa menghadapi banyak orang. Diskusi, orasi, semua tak ladeni. Tapi mau menghadapi seorang gadis saja, kok berdebarnya minta ampun.

Jadi, aku pura-pura ngobrol serius dengan Pak Muslih, bapaknya Imah dan Paklek Kholik. Padahal sebenarnya hatiku serasa ada bedug yang ditabuh. Dag dig dug.

Namun ketika kulihat tangan yang sedikit bergetar mengulurkan gelas teh di hadapanku, aku memberanikan diri meliriknya. Aku mulai menilai wajah dalam balutan jilbab krem itu. Kulit putih bersih. Mata bulat besar. Hidung tak telalu pesek, juga tak terlalu mancung. Lalu aku tak berani menilai lebih dari itu. Pokoknya secara keseluruhan, menurutku ia cantik.

Aku masih memandanginya. Ketika tiba-tiba teh panas mengenai kakiku, dan seketika aku mengucap, "Astaghfirullah!"

"Maaf...maaf," itu pertama kali aku mendengar suaranya. Terdengar merdu di telingaku.

"Piye leh, Nduk. Ayo digawekno teh meneh," perintah Pak Muslih.

"Nggih, Pak. Pangapunten," katanya sambil melihatku dengan pandangan menyesal. Dan itu pertama kalinya mataku bertemu matanya. Aku semakin tak keruan.

Kemudian ia membuatkan segelas teh lagi untukku.

Tetapi aku sudah tak terlalu mempedulikan teh yang tumpah tadi, apakah akan diganti atau tidak. Yang pasti, sepertinya aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan aku memutuskan, nanti kalau paklekku tanya, aku pasti akan langsung menjawab iya. Kalau perlu akad hari itu juga, aku akan siap saja.

***---***

Beginilah kalau lagi banyak pikiran dan mata tidak bisa dipejamkan. Pikiran jadi ngelantur kemana-mana. Membalik-balikkan badan ke kanan dan kiri juga tidak membantu. Sementara Imah tampaknya sudah memulai sholatnya. Karena aku sudah tak mendengar kecipak suara wudlu dan langkah kaki.

Ingatanku malah kembali ke siang tadi di Polres. Saat aku dimintai klarifikasi atas aduan Kepala Desaku, yang melaporkan aku mencemarkan nama baiknya. Tuduhan yang tidak berdasar. Tapi kebencian sudah terlanjur menjalar.

Permulaannya sebenarnya aku hanya meminta keterbukaan anggaran pada Kepala Desa. Kebetulan pada waktu itu ada pertemuan di Balai Desa. Balai Desa menjadi sunyi seketika. Mungkin hal seperti itu belum biasa. Dan aku lupa, sekarang aku ada di desa. Bukan di kampus. Pertemuan menjadi tegang setelahnya. Dan aku sedikit merasa bersalah.

Tetapi entah siapa yang memulai, kemudian ada isu yang beredar bahwa aku akan mencalonkan diri sebagai Kades tahun depan.

"Amar itu caper, soalnya mau nyalon petinggi tahun depan," begitu isu dimulai.

"Dia kroso pinter, peh sarjana," ada yang menambah-nambahi.

"Ndekne kroso duwe darah petinggi, mulane wani," ada juga yang mengaitkan dengan kakekku dulu yang juga seorang kades.

"Bocah lagi wingi sore wae wis keminter," entah siapa lagi yang ngomong.

Isu-isu digoreng hingga mungkin membuat panas Pak Inggi. Apalagi kemudian banyak warga yang juga mempertanyakan penggunaan anggaran di desa. Dan begitulah akhirnya. Aku diadukan melakukan pencemaran nama baik.

Berurusan dengan polisi sebenarnya bukanlah hal baru bagiku. Dulu ketika masih mahasiswa, sudah biasa aku berhadap-hadapan dengan polisi. Apalagi kalau lagi aksi, kemudian aksinya diwarnai kerusuhan. Setiap aksi memang sering tak bisa dihindari disusupi provokator. Meski kami sudah berkoordinasi dan melakukan penjagaan supaya tak terjadi aksi anarkis, tetap saja para provokator itu bisa menemukan celah-celah dalam aksi kami.

Sebagai koordinator lapangan, aku termasuk orang yang paling pertama dipanggil. Dimintai keterangan kronologis kejadian.

Bahkan dulu diundang ke kantor polisi sering menjadi bahan ledekan diantara teman-teman aktivis.

"Belum jadi aktivis kalau belum pernah ke kantor polisi," sombong Wawan, yang mengaku sudah berkali-kali ke kantor polisi.

"Ngapain kamu ke kantor polisi?" ledek Roby yang tahu benar perilaku Wawan.

"Ngurus surat hilang," jawab Wawan dengan wajah tanpa dosa. Dan habislah ia ditimpuki bantal oleh teman-teman sekontrakan.

Aku jadi ingin tertawa mengingat gurauan-gurauan teman-teman kampus dulu.

Tapi itu dulu. Ya, dulu. Waktu masih menjadi mahasiswa yang punya semangat tinggi dan tak terlalu memikirkan akibat di kemudian hari. Lagipula saat itu aku jauh dari ibu dan keluarga lainnya. Jadi aku tak terlalu terbebani. Mau bertingkah seperti apapun, selama yang kulakukan adalah hal yang kuyakini, aku tak pernah takut.

Sekarang, ada ibu dan istri yang ada di sampingku. Bagaimanapun aku harus memikirkan perasaan dan keselamatan mereka. Sebesar apapun cobaan yang aku hadapi, aku berharap tak pernah membebani mereka.

Jadi, kali ini dipanggil di Polres untuk dimintai klarifikasi adalah beban besar buatku. Hari ini sudah panggilan kedua. Mau tidak mau, aku merasa was-was juga.

"Siapa nama istri Anda...," pertanyaan yang berkaitan daftar riwayat hidup itu terngiang di telingaku.

"Apa yang Anda lakukan di tanggal 12 September...," aku masih mengingatnya dengan jelas.

"Apa dasar Anda mempertanyakan hal tersebut kepada Kepala Desa?"

Semua pertanyaan hingga suara ketukan jari-jari penyidik pada laptop untuk mengetikkan keteranganku, semua terasa berulang-ulang di kepalaku.

Ingatan yang sama. Berulang lagi. Seharian ini.

Mungkin benar kata Imah, seorang suami bisa membagi beban kepada istrinya. Karena menyangga beban berdua akan terasa ringan daripada sendirian. Lagipula aku memang tak perlu menutupi apapun dari istriku. Kalau terlalu lama ditutupi, mungkin malah akan menimbulkan salah paham. Aku berjanji akan menceritakan pada Imah besok.

Dan pikiran-pikiran itu pun terus berputar, hingga aku terlelap. Lupa untuk sejenak.

***---***

Aku terbangun di subuh hari ketika telapak tangan hangat menyentuh pipiku.

"Mas, bangun. Sudah subuh," bisik Imah, dekat di telingaku.

"Hm...," aku masih malas dan memeluk Imah di dadaku. Kunikmati wangi tubuhnya masih dengan mata yang terpejam.

"Wis diundang Kang Badrun kae," kata Imah lagi, sambil menyebutkan nama muadzin di musholla dekat rumah kami.

Aku mengeratkan pelukan. Masih tak rela melepas aroma yang sedang kunikmati. Sedangkan Imah berusaha melepaskan pelukan.

"Saru to... Ditimbali Gusti Allah, kok ora ndang moro," Imah masih mengajak untuk jama'ah subuh di musholla seperti biasa.

Akhirnya kulepaskan pelukanku.

"Iyo.. Iyo...," aku bergegas bangkit dengan mata masih kriyip-kriyip.

"Tapi sayang sik, yo," bujukku sambil menunjuk pipi kananku.

Malu-malu, Imah mencium cepat pipi kananku.

"Gek ndang wudlu, Mas. Malah tekan endi-endi, mengko," kata Imah masih dengan wajah memerah.

"Lho, mau sampai mana memangnya? Paling tekan kene tok, Dik," godaku sambil menunjuk ranjang kami.

"Ish," Imah mencubit pahaku dan langsung lari ke kamar mandi.

"Gek ndang wudlu," suaranya terdengar dari kamar mandi. Aku senyum-senyum sendiri dengan tingkahnya.

Kemudian aku segera berwudlu dan berangkat ke musholla yang hanya beberapa langkah dari rumahku. Dalam hati aku berjanji, setelah sholat subuh nanti, tak akan kubiarkan istriku itu lari lagi.


Bersambung...

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images