ANGSA YANG MERINDU

Maret 11, 2016


Sudah beberapa hari ini Giman selalu pergi ke sungai yang ada di pinggir kampung tiap pagi hari. Entah kenapa kaki seperti menyeretnya ke sungai itu. Tatapannya selalu berhenti pada angsa-angsa yang berenang berpasangan. 

"Ah, lama sekali aku tak melihat angsa-angsa seperti ini," gumam Giman.

Sungai yang dikunjungi Giman tak banyak berubah. Sungai itu ada di pinggir kampung. Untuk menuju kesana, Giman harus melewati setapak dengan pohon cemara di kanan kirinya. Lalu ada bunga-bunga liar nan indah diantara pohon-pohon itu. Kupu-kupu kadang melintas, menari-nari seolah menyambut kedatangan Giman. Pemandangan di sana masih perawan, belum terjamah tangan-tangan yang suka merusak alam.

Dulu, bertahun lalu ketika ia masih pengantin baru, ia sering ke sungai itu bersama Sunah, istri tercintanya. Bercengkerama, menikmati pemandangan pedesaan sambil bercanda ria saling menggoda.

"Katanya angsa disini adalah binatang yang setia," kata Sunah waktu itu.

"Mereka akan terus menjadi pasangan sampai salah satu dari mereka meninggal. Lalu angsa yang tertinggal, akan menyusul pasangannya tak lama setelah kematian pasangannya," lanjut Sunah sambil tersenyum, memandangi Giman yang takjub mendengar cerita Sunah.

"Kalau begitu, kita akan seperti angsa itu. Kita akan selalu menjadi pasangan yang setia," janji Giman sambil menggenggam tangan Sunah.

Seulas senyum menghiasi bibir keriput Giman saat mengingat kenangan itu.

Dan pandangan Giman tiba-tiba tertuju pada angsa yang sendirian. Tak seperti lainnya, angsa itu tak memiliki pasangan. Berenang lesu diantara bunga teratai di sungai itu.

"Ah... seperti aku," bisik hati Giman.

"Apa ia juga merindukan pasangannya?" bisiknya lagi. Giman seakan memiliki teman senasib. Ia merasa, pasti angsa itu juga sedih telah kehilangan kekasihnya.

Giman merintih pedih, meski hanya dalam hati. Sudah lima bulan ini hatinya terasa sepi. Hari-hari yang dilalui tanpa Sunah terasa berat sekali. Selama ini, meski hidup dalam kesederhanaan, jika bersama Sunah semua terasa ringan bagi Giman.

"Makan yang banyak, Kang. Biar kuat mengayuh becak, biar dapat rejeki banyak untuk ditabung. Biar Angga dapat sekolah yang tinggi," begitu dulu yang selalu dikatakan Sunah tiap pagi hari ketika mereka sarapan. Sarapan yang sekedar nasi dengan tempe dan sambal terasi terasa sangat nikmat saat itu.

Dan kalimat-kalimat pemberi energi dari Sunah itu menjadi suplemen bagi Giman tiap ia berangkat ke pasar untuk mengais rejeki. Ada banyak ibu-ibu yang membutuhkan tenaga dan becaknya untuk membawa belanjaan mereka. Hasil kerjanya ditabungkan Sunah di koperasi yang pegawainya mau menjemput tabungan tiap hari. Seribu dua ribu setiap hari, diniatkan untuk pendidikan anak semata wayang mereka. Sementara untuk makan sehari-hari, mereka mengandalkan upah mencuci dan menyeterika Sunah di beberapa rumah tetangga.

Giman mendesah. Betapa ia merindukan Sunah. Sunah yang lembut, Sunah yang bijak, Sunah yang selalu menjadi istri yang baik baginya, juga ibu yang baik bagi Angga.

Giman ingat senyum Sunah kala Angga, anak mereka satu-satunya lulus dari STM dengan nilai yang baik.

"Alhamdulillah, Le. Akhirnya kamu lulus STM. Cari rejeki yang halal ya, Le," kata Sunah kepada Angga di hari kelulusan anaknya itu.

"Ya, Mak. Insya Allah aku akan membahagiakan Bapak dan Emak," jawab Angga penuh bakti.

"Tidak sia-sia jerih payahmu narik becak, Kang. Matur nuwun Gusti, sampun maringi berkah kados mekaten," haru Sunah sambil menengadahkan tangan penuh syukur.

Sunah mengelus sayang kepala anaknya. Begitu juga Giman. Mereka terhanyut dalam kebahagiaan. Penuh syukur, karena bagi mereka bisa menyekolahkan anak sampai STM adalah perjuangan yang tidak ringan. Dan lebih bersyukur karena Angga adalah anak yang berbakti.

Kenangan demi kenangan berhamburan dalam pikiran Giman. Membuat ia semakin rindu.

Dan hari itu ketika seperti biasa Giman selesai tahajjud, bermaksud membangunkan Sunah untuk jama'ah subuh di musholla dekat rumah. Sunah tak kunjung bangun, meski Giman berkali-kali membangunkannya. Biasanya sentuhan tangan Giman di pipi Sunah sudah cukup untuk membangunkan Sunah. Biasanya Sunah akan langsung bangun dan tersenyum ke arah Giman, seakan berterima kasih telah dibangunkan untuk sholat subuh.

Tapi hari itu... Giman bahkan sampai berteriak, tapi Sunah tetap diam.

Tak terasa air menetes dari kelopak mata Giman. Sudah lima bulan, tapi ia tak kunjung bisa membuang rasa kehilangan.

Giman mendesah lagi, seakan ada beban berat di dadanya.

Ia kembali memandangi angsa yang berenang sendirian, sambil bergumam, "aku tahu rasanya memendam rindu."

Lalu akhirnya ia melangkah pulang.

---***---

Di rumah, istri Angga sudah menyiapkan sarapan untuk Giman. Ratri, istri Anggar itu adalah istri dan menantu yang baik. Ia merawat Sunah dan Giman dengan baik. Angga memang melarang Sunah dan Giman bekerja lagi setelah ia mempunyai pekerjaan yang mapan. Angga ingin Sunah dan Giman yang sudah mulai renta tak lagi bekerja keras seperti dulu. Angga ingin bapak dan emaknya menikmati masa tuanya. Ia bahkan berencana mendaftarkan Sunah dan Giman beribadah haji. Tetapi ternyata Allah lebih dulu memanggil Sunah.

"Ah... Terima kasih, Gusti, karena sudah memberikan keluarga yang indah ini," begitu yang selalu ada di dalam hati Giman.

Sambil menikmati sarapan, Giman memandangi Angga dan Ratri dengan senyum penuh syukur.

Lalu Giman pamit untuk tiduran di kamar. Semakin tua, ia merasa semakin cepat lelah.

Gimanpun tertidur. Lelap dan semakin lelap. Dalam kelelapan itu, ia merasa Sunah memanggilnya. Ia yang rindu, menyambut panggilan Sunah dengan bahagia. Mereka lalu berjalan bersama menuju sebuah cahaya.











You Might Also Like

4 komentar

  1. Ahhh so sweet mbak Ummi, indah sekali ya bisa hidup bersama pasangan sampai tua hingga maut memisahkan :)

    Semoga kita dan pasangan bisa seperti itu ya, aamiin :)
    Semoga sukses GA nya ya mbak :)

    BalasHapus
  2. Keluarga yang berbahagia ...

    Terimakasih sudah berpartisipasi :)

    BalasHapus

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images