IRONI

Oktober 26, 2018

cerita mini-flashfiction-ironi

Matahari baru saja menyembul di ufuk timur. Embun-embun masih menempel di rerumputan. Kicau burung bernyanyi bersahutan. Langkah-langkah tegap sambil memanggul cangkul berjalan menuju areal persawahan.
Aku berada di pematang sawah. Menikmati hijau hamparan padi yang membentang. Sambil memperhatikan petani ketika mulai mencabut rumput yang tumbuh diantara padi-padi.
Petani itu dalam bahasa arab sebutannya fallahun. Sedangkan fallahun juga bisa berarti beruntung. Aku rasa, petani-petani itu memang orang-orang yang beruntung. Haha.... Aku tertawa miris membandingkan diriku sendiri dengan para petani itu.
Lihatlah mereka yang dari pagi berangkat menggarap sawah hingga terik matahari di atas kepala mereka. Peluh membasahi tubuh mereka. Dan mereka melakukannya tanpa keluhan.
Ketika tiba waktunya makan siang, apa makanan mereka?Sudahlah... Mereka tak pernah mengenal teori-teori makanan sehat dan seimbang, food combining, atau diet ala-ala apapun. Nasi dengan sambal petai saja. Tetapi terlihat nikmat dari cara mereka menyantapnya. Kalau pagi, mereka sarapan dengan singkong rebus dan segelas kopi. Tapi mereka sehat. Bukankah itu keberuntungan mereka?
Bandingkan dengan aku yang... akan segera mati. Dokter yang mengatakannya. Padahal aku ini orang yang menganut pola hidup sehat. Makanan yang sehat. Olahraga teratur. Istirahat cukup.
Ah! Padahal aku ingin segera melamar cintaku. Aku ingin memulai hidup baru. Tapi hidup macam apa yang akan aku berikan untuk gadis yang aku cintai dengan penyakit yang menggerogotiku?
Cukup lama aku disini. Hingga lamat-lamat kudengar langkah kaki di belakangku.
"Akhirnya aku menemukanmu," suara gadis itu. Suara cinta yang ingin kuajak hidup bersama itu.
Aku merindukan suara itu setelah beberapa minggu tak bertemu. Tapi saat ini aku hanya ingin diam. Aku tak ingin lagi menyusun harapan yang terlalu tinggi bersamanya.
"Tak ada yang berhak menentukan umur manusia selain Tuhan. Kenapa kau harus peduli dengan ramalan dokter itu?", katanya lagi.
Aku masih tak mengatakan apapun. Dalam hati aku berharap dia pergi saja.
"Ayo kita menikah." Dia yang justru mengucapkan ajakan itu.
Aku yang kaget, seketika menoleh ke arahnya dan melihat dia yang terlihat serus. Tetapi aku masih tak tahu harus menjawab apa.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images