KISAH DARI NEGERI DONGENG: PENCARIAN JIWA MURNI #PART1

Januari 17, 2017


#1 
CAHAYA

Namaku Damar. Aku seorang prajurit negeri ini. Saat ini aku berdiri di atas bukit tinggi, setelah memacu kuda selama hampir setengah hari. Dari bawah aku menuju bukit ini demi memastikan sesuatu. Karena sesuatu itu meresahkan hatiku. Meremukkan kebanggaanku atas prestasiku sebagai seorang prajurit.

Saat ini senja hari. Diantara semburat awan yang mulai kemerahan, aku memandang lepas pada kejauhan. Jauh dibawah sana. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Bangunan-bangunan berdiri megah. Taman-taman dibangun indah. Tetapi aku melihat angkara murka menyelimuti mayapada.

Lihatlah, meski semua terlihat indah, tapi mata batin yang terasah pasti bisa melihatnya. Kemana perginya cahaya? Bukan, bukan cahaya dari api pada senthir atau obor. Tetapi cahaya yang ada pada hati-hati manusia, dimana cahaya itu akan membias pada keadaan di sekitar manusia itu. Cahaya dari hati yang bisa menimbulkan kenyamanan dan keamanan pada perasaan manusia lain.

Aku jadi ingat, dahulu akupun pernah berdiri disini. Sama seperti saat ini, akupun memandangi semuanya dari ketinggian. Meskipun dahulu pemandangan yang aku lihat hanya kesahajaan, tapi aku melihat banyak cahaya. Sekarang, dimanakah cahaya itu? Mengapa semua tampak hitam?

Tetapi dulu, aku bukanlah seorang prajurit. Waktu itu aku hanya seorang pengelana. Sebenarnya, sebuah pesan yang membuatku berkelana dan berkeliling mencari sesuatu.

"Carilah Jiwa Murni," kata guruku sesaat sebelum beliau meninggal.

"Dimana aku harus mencarinya, Guru?" tanyaku waktu itu.

Jiwa Murni adalah sesuatu yang sering aku dengar di kalangan pendekar. Para pendekar selama bertahun-tahun mencari keberadaan jiwa murni itu. Tetapi saat itu beliau hanya menggeleng, menandakan beliaupun tak tahu.

"Para pendekar selalu membicarakan jiwa murni diam-diam. Tetapi mereka tak pernah benar-benar tahu dimana keberadaannya," kata guruku lagi.

"Kabarnya, jiwa murni itu berwarna putih bening, tetapi tak ada yang benar-benar tahu seperti apa bentuknya. Tapi para pendekar percaya, bahwa siapa saja yang ditakdirkan menemukannya, diramalkan akan menjadi pemimpin untuk seluruh negeri." Hanya itu yang diketahui guruku.

Bertahun-tahun aku berbagi petunjuk dengan pendekar putih lain untuk menemukan jiwa murni. Oh ya, di dunia kependekaran hanya dikenal dua golongan pendekar, yaitu golongan putih dan golongan hitam. Pendekar putih biasanya menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Diantara pendekar putih saling membantu untuk menemukan jiwa murni. Mereka percaya pada takdir, bahwa penemu jiwa murni sudah ditetapkan dari Atas. Meski begitu, semua harus tetap diusahakan. Jadi,  siapapun penemu jiwa murni, para pendekar putih percaya orang itulah yang layak menjadi pemimpin negeri.

Sedang pendekar hitam, mereka mencari jiwa murni untuk memuaskan ambisi mereka. Mereka ingin menguasai negeri dan berkuasa. Tetapi diantara mereka sendiripun saling bersaing demi mendapatkan jiwa murni itu.

Sejak zaman dahulu, pada masa guruku masih muda, entah sudah berapa dasawarsa, para pendekar putih bekerjasama agar jiwa murni segera ditemukan. Kadang kami ke timur ketika ada yang mengatakan jiwa murni ada di timur. Kadang kami beralih menuju barat, ketika pendekar lain mengabarkan ada tanda-tanda jiwa murni berada di barat. Tetapi kami belum juga menemukannya. Karena tak ada petunjuk yang pasti. Bagaimana sebenarnya bentuk Jiwa Murni itu? Dimana ia berada? Bagaimana cara mendapatkannya?

Kami, para pendekar mulai lelah. Jiwa Murni seperti hanya sebuah mitos belaka. Kami berhenti percaya bahwa Jiwa Murni benar-benar ada. Dan aku mulai tergoda untuk melamar menjadi seorang prajurit. Bagaimana tak tergoda? Selebaran-selebaran yang menempel di dinding dan pohon-pohon mengatakan kalau bayaran seorang prajurit adalah sejumlah uang yang cukup untuk makan selama satu purnama penuh. Sedang selama ini aku sering berpuasa agar bisa berhemat. 

Aku melamar bersama beberapa pendekar. Ujian menjadi prajurit, adalah hal mudah bagi kami. Kesulitan dalam pencarian Jiwa Murni telah menempa kami dalam ketahanan fisik dan mental. Bersama-sama kami berganti haluan sebagai seorang prajurit. Hanya sedikit dari para pendekar yang bertahan dalam keyakinan mereka. Bahwa Jiwa Murni benar-benar ada, dan mereka percaya akan menemukannya. Dan aku lebih memilih kenyamanan sebagai seorang prajurit.

Begitulah. Hari berganti. Bulan berganti. Tahun berganti. Tiga tahun sudah aku menjadi prajurit. Aku adalah prajurit yang cemerlang. Menjalankan tugas dengan gemilang. Menangkap pencuri, menggagalkan perampokan, bahkan aku berani menangkap petinggi kerajaan yang merampas tanah rakyat di wilayah tugasku.

Dan aku mendapatkan kenaikan tingkat, dari prajurit biasa menjadi komandan yang membawahi satu regu prajurit pilihan. Ya, aku bertugas menjaga keamanan salah satu distrik negeri ini. Aku bangga dengan pencapaianku. Karena itu artinya aku bisa berbuat kebajikan lebih banyak, sebagaimana diajarkan guruku dulu. Tentu saja dengan pangkat lebih tinggi aku bisa lebih banyak menumpas kejahatan. Setidaknya, awalnya aku berpikir seperti itu.

Hingga suatu hari aku dikejutkan oleh sebuah peristiwa. Peristiwa yang membuatku gamang pada posisiku sebagai prajurit pemerintah. Ya, peristiwa itu sungguh merontokkan segala kejumawaanku atas keberhasilanku sebagai seorang prajurit. Dunia menjadi lebih baik dengan membuat perubahan dari dalam? Benarkah?

Dan disinilah aku sekarang, di atas bukit ini. Memandang ke bawah bukit untuk memastikan sesuatu. Benarkah telah lebih baik? Kenapa hitam itu begitu pekat di bawah sana? Hitam yang hanya bisa dilihat dengan mata batin.

Lalu akupun teringat kembali dengan pesan guruku untuk mencari jiwa murni. Ya Tuhan, benarkah aku harus melepaskan semua ini? Aku malu menganggap diri telah berbuat banyak, tapi ternyata bukan apa-apa. Sedangkan di tempat lain, para pendekar putih yang masih bertahan mungkin sedang kelelahan, mungkin juga kelaparan. Jiwa Murni itu, entah dimana keberadaannya?

Aaahhh... Aku sungguh frustasi dengan keadaan ini.


bersambung...

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images