Untuk Serial Fara Bagian 1, Klik disini ya........
SERIAL FARA BAGIAN 2: PERTEMUAN SETELAH 10 TAHUN
SERIAL FARA BAGIAN 2: PERTEMUAN SETELAH 10 TAHUN
Ilustrasi, sumber: amathalia.wordpress.com |
Fara berada di kantor. Pagi
jam tujuh, pegawai di DPU telah melakukan apel pagi. Beberapa orang mengeluh,
karena sekarang ada absen sidik jari, mereka tidak bisa lagi berangkat kantor
agak siang. Sedang Fara sendiri yang pada dasarnya menyukai kedisiplinan, hanya
menghela nafas mendengar keluhan teman-temannya.
“Kamu sih belum berkeluarga, jadi tidak masalah
berangkat pagi-pagi,” kata Dina, salah satu teman Fara beralasan.
“Ya, apalagi kalau punya anak yang sudah sekolah, pasti
lebih repot lagi,” sambung Ersa, teman Fara lainnya.
Fara hanya tersenyum pahit. Mereka berdua seumuran
dengan Fara. Tapi mereka berdua sudah menikah dan memiliki anak. Fara segera
meninggalkan mereka yang masih asyik ngobrol. Fara tak berminat dengan obrolan
pernikahan saat ini.
Fara sedang memeriksa hasil pekerjaan hari
sebelumnya di laptop ketika Pak Hadi, atasan Fara menuju kearahnya sambil
marah-marah.
“Mbak Fara, apa aku ini terlihat seperti orang yang
bisa dibeli?,” tanyanya pada Fara.
Fara dan beberapa staf yang lain memandangi Pak Hadi
dengan seksama.
“Bapak sama sekali tak terlihat seperti bisa dibeli,”
Raihan, pegawai termuda di ruangan itu yang menjawab.
“Benar kan? Aku memang bukan orang seperti itu,” kata
Pak Hadi dengan bersemangat karena ada yang mendukungnya.
“Kalau ada beberapa boneka di pajang di toko, saya
tidak akan membeli yang seperti bapak.”
Gubrak! Raihan yang menjawab dengan wajah lugunya,
membuat Pak Hadi mendengus kesal. Ada petasan di sekitar kepalanya yang siap
meledak. Raihan dibawa keluar oleh Pak Bambang sebelum terkena ledakannya Pak
Hadi.
“Aku hanya menjawab pertanyaan Pak
Hadi. Memang ada yang salah?” tanya Raihan bengong, tetap tidak mengerti kenapa
temannya mengajaknya keluar. Sedang Fara berusaha menahan tawanya.
“Ada apa to Pak?” tanya Fara sabar, setelah Pak Bambang
membawa Raihan keluar ruangan.
“Tadi ada peserta lelang yang minta dimenangkan untuk
pekerjaan jalan yang di daerah barat itu lho mbak,” jawab Pak Hadi, sambil
duduk di kursi sebelah kanan Fara.
Pak Hadi dan Fara memang satu Tim di Panitia Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Pak Hadi menjadi Ketua, sedang Fara adalah Sekretaris.
Dan masih ada tiga orang lagi anggota Panitia Pengadaan Barang/Jasa di kantor
Fara.
Kadang ada peserta lelang yang bertindak curang. Menemui
Panitia Pengadaan Barang/Jasa untuk minta dimenangkan dengan menjanjikan sesuatu.
Fara bersyukur bahwa ia mempunyai tim yang baik, yang tidak suka dengan
cara-cara curang semacam itu. Apalagi sekarang semua pengadaan di daerahnya dilaksanakan
secara elektronik. Semua proses lewat internet. Jadi, semua orang bisa melihat
proses lelang secara transparan.
“Apa nama CV-nya Pak?,” tanya Fara sambil membuka file
hasil penilaian penawaran.
“Coba lihat CV. Hasil Karya, Mbak. Nilainya bagus
tidak?,” tanya Pak Hadi sambil memelototi laptop di depan Fara.
“Kelihatannya tidak telalu bagus, Pak. Secara teknis,
dia kalah dengan yang lain,” jawab Fara, tangannya menunjuk pada daftar
penilaian di laptop.
“Oke. Besok kita rapat dengan anggota panitia yang
lain, Mbak. Kita persiapan untuk pembuktian kualifikasi calon pemenang lelang,”
perintah Pak Hadi yang berarti Fara harus membuat undangan untuk rapat Panitia
Pengadaan Barang/Jasa besok.
****----****
Inilah hari yang telah dijadwalkan untuk pembuktian
kualifikasi calon pemenang lelang. Fara
masuk ruang rapat. Sudah ada calon pemenang lelang yang duduk membelakangi
pintu. Dua orang itu terlihat berbincang santai. Sedang anggota panitia
pengadaan belum terlihat di ruang itu. Tapi Fara mendengar suara langkah
beberapa orang menuju ruang rapat. Fara yakin itu teman-temannya.
Semua anggota panitia telah berkumpul, semuanya lima
orang yang terdiri dari dua orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Mereka
semua segera menuju meja melingkar, dimana dua orang dari calon pemenang lelang
sudah menunggu.
“Selamat pagi bapak-bapak,” sapa Pak Hadi pada dua
orang itu.
Panitia lelang bersalaman dengan perwakilan CV. Karya
Bakti, calon pemenang itu. Hanya Fara yang hanya menganggukkan kepala tanda
sapaan kepada mereka. Fara terkesiap
ketika tahu siapa salah satu dari dua orang itu. Orang itu sepertinya juga sama
terkejutnya dengan Fara.
“Saya Fajar, Direktur Utama CV. Karya Bakti. Ini Ridho,
Direktur Teknik kami,” sang Dirut memperkenalkan diri. Sedang Ridho, orang yang
diperkenalkan sebagai Direktur Teknik mengangguk sopan.
Sesi pembuktian kualifikasi ini adalah bagian dari proses
pengadaan barang/jasa. Karena Fara dan timnya menggunakan metode
pascakualifikasi, maka berarti mereka telah menilai dokumen penawaran peserta
lelang serta dokumen kualifikasinya. Dan hari ini mereka hanya mengecek bahwa dokumen
kualifikasi yang sudah disampaikan calon pemenang adalah benar-benar asli,
tidak ada yang dipalsukan. Hanya peserta dengan nilai tertinggi yang diundang.
Jika hasilnya ternyata tidak sesuai, maka peserta dengan nilai di bawahnya boleh
jadi akan jadi pemenang lelang, tentunya harus melewati pembuktian kualifikasi
juga.
Fara tidak konsentrasi pada pertemuan itu.
Seseorang bernama Ridho itu benar-benar membuatnya tidak nyaman, meski ia
berusaha mengabaikannya. Bu Ratna yang ada di sebelah Fara sepertinya bisa
merasakan kecanggungan Fara. Karena beberapa kali Bu Ratna melihat ke arah Fara
dengan pandangan penuh tanya, meski tak mengatakan apa-apa.
Berkas-berkas yang diperlukan untuk pembuktian
kualifikasi telah diperiksa, dan tak ada masalah. CV. Karya Bakti akan menjadi
pemenang lelang untuk pekerjaan pengaspalan jalan di daerah barat.
Dan akhirnya Fara bernafas lega ketika sesi ini
selesai. Fara yang pertama berpamitan dari ruangan rapat pada semua orang,
diikuti anggota panitia lelang yang lain. Sedang Pak Hadi masih berbincang
dengan Pak Fajar, sang Direktur Utama. Sedang Ridho terlihat tidak tenang di
samping Pak Fajar. Sesekali ia melihat ke arah pintu.
“Maaf Pak, saya mau ke toilet dulu,” pamit Ridho pada Pak Hadi dan Pak Fajar.
Tapi Ridho tak benar-benar ke toilet. Sekeluarnya dari
ruang rapat, Ridho mengedarkan pandangan ke penjuru kantor itu, sepertinya ia
sedang mencari seseorang. Ia melihat jam sekilas. Jam 12.20. Matanya tertuju
pada kantin kantor, ia menuju kesana. Sesampainya di kantin pun ia kembali menoleh
kesana-kemari, dan tersenyum saat mendapati Fara sedang makan sendirian. Segera
saja ia duduk di depan Fara, hanya dipisahkan sebuah meja.
“Lama tidak ketemu ya Fa,” sapa Ridho.
Fara mendongak, menghentikan aktifitas makannya.
Seorang pelayan datang, menawari Ridho beberapa menu. Ridho pesan nasi sop dan
es jeruk.
“Hm........ hampir sepuluh tahun,” jawab Fara setelah
pelayan kantin pergi.
Suasana menjadi canggung. Lama mereka terdiam, bahkan
sampai pesanan Ridho datang.
“Sebenarnya aku masih penasaran dengan yang kau lakukan
waktu itu. Kau sepertinya benar-benar menghindariku,” akhirnya Ridho yang
pertama membuka suara.
“Itu sudah lama sekali. Apa hal seperti itu masih baik
dibicarakan sekarang?” Fara ingin menghindari pembicaraan tentang masa lalunya
dengan Ridho.
Dan mereka sama-sama diam lagi. Diam-diam Ridho
memperhatikan Fara yang makan dengan tidak nyaman, dan ia terpaku pada jari
manis Fara. Ridho tersenyum tipis. Sedang Fara bergegas menghabiskan
makanannya.
Fara telah menghabiskan makannya ketika Ridho berkata,
“Kamu terlihat cantik dengan jilbab itu, Fa.”
Agak lama Fara tak mengatakan apa-apa. Tapi kemudian ia berdiri dan menjawab, “Tapi aku memakai jilbab
untuk menjaga kehormatan diriku, bukan untuk menjadi cantik.”
“Maaf, aku harus kembali bekerja,” lanjut Fara lagi, pamit
kepada Ridho.
“Maaf, aku tidak bemaksud tidak sopan. Tapi aku harap kita
bisa bertemu lagi,” kata Ridho sebelum Fara pergi meninggalkan kantin.
Tapi Fara tak mengatakan apa-apa lagi.
***----***
Setengah lima sore, Fara telah sampai di rumah kost. Ada
yang mengaduk-aduk pikirannya sejak pertemuan dengan Ridho. Bahkan ia
mengabaikan Rahma yang menyapanya ceria. Fara masuk kamar dan merebahkan
tubuhnya di kasur. Kilasan ceritanya bersama Ridho berkelebat begitu saja,
memenuhi pikirannya.
“Ini Fa. Kamu harus membuat garis dari sini, tarik ke
sini. Nah, nanti akan ketemu liquid limit tanahnya,” kata Ridho sambil menunjuk
ke arah grafik di meja ruang tamu kost-nya. Sebuah kertas milimeter terbentang
di meja itu. Waktu itu Fara meminta penjelasan tentang hasil praktikum Mekanika
Tanah.
Fara ingat, saat itu ia datang ke kost Ridho yang
kebetulan sepi. Teman-teman Ridho sedang keluar dengan acaranya masing-masing. Fara
dan Ridho telah pacaran waktu itu, tepatnya sudah hampir setengah tahun mereka
pacaran saat peristiwa itu. Kenapa Fara mengingatnya? Ya, Fara memang mengingat
hari itu. Saat dimana ia dan Ridho hampir kehilangan kesadaran mereka. Meski hanya
hampir, Fara telah menyesali dengan sepenuh penyesalan. Tempat yang sepi, hanya
berdua, mereka sedang dimabuk cinta. Itu sudah menjadi alasan setan untuk
menggoda mereka berdua. Bersyukur Tuhan masih menyelamatkan mereka. Saat mereka
hampir bersentuhan, seorang teman Ridho datang, lalu selamatlah mereka.
Tapi Fara sudah menyesali peristiwa itu. Sekali ia bisa
menjaga diri, suatu waktu dengan keadaan yang sama, bisakah ia selamat dari
perbuatan dosa? Itulah yang selalu menjadi pertanyaan hatinya. Akhirnya ia membuat
keputusan besar dalam hidupnya, yaitu memakai jilbab. Lalu ia mengabaikan semua
yang berhubungan dengan Ridho. Ia tak menjawab telepon Ridho, ia tak
membalas sms Ridho, ia menghindari jalan yang biasa dilewati Ridho, ia tak belanja di warung yang biasa dikunjungi Ridho, bahkan ia
hanya mau bertemu sekali dengan Ridho dan untuk mengatakan, “Kita putus.”
Menjadi keuntungan bagi Fara karena saat itu Ridho
sudah menyelesaikan kuliahnya. Ridho hanya tinggal menunggu waktu wisuda saja. Dan
ketika akhirnya Ridho diwisuda dan langsung bekerja di perusahaan kontraktor
milik alumni almamater mereka, Fara benar-benar bersyukur. Ada beban di dadanya
yang seperti terlepas, hingga membuatnya bisa bernafas lega.
Tok.....tok.....tok.....
Ketukan di pintu kamar, membuyarkan lamunan Fara. Ia membuka
pintu dan mendapati Dewi yang sudah siap dengan mukenanya.
“Ayo Mbak, kita jama’ah maghrib,” ajak Dewi.
“Belum adzan kan? Dirimu duluan saja, aku mau mandi
dulu.”
“Oke,” Dewi pun berlalu.
Terdengar suara candaan Dewi dan teman-teman kost Fara
yang lain. Mereka menuju musholla yang tak jauh dari rumah kost. Sudah menjadi
kebiasaan mereka untuk sholat maghrib berjama’ah di musholla itu.
Farapun bergegas mandi dan segera menyusul
teman-temannya jama’ah di musholla tepat ketika iqomah dilantunkan.
“Terima kasih untuk perjalanan yang indah ini, Ya
Robbi. Bertemu dengannya dan berbuat dosa, lalu aku berjalan mendekat pada-Mu. Meski
aku pernah menyesal, tapi kini aku mensyukuri cara-Mu mencintaiku. Terima kasih
karena telah menunjukkan jalan yang lebih baik. Dan bantu hamba untuk lebih
baik lagi. Bertemu dengannya lagi, semoga tidak membuat hamba lengah dari
mengingat-Mu. Entah kami berjodoh atau tidak, hamba mohon selalu bimbing hamba
untuk tetap di jalan-Mu.” Itu do’a yang dilatunkan Fara di maghrib ini.