SERIAL FARA BAGIAN 1

Desember 15, 2013

Ilustrasi: Beginilan kira-kira rumah kost-kostan punya Anita
Sumber: www.interior-rumah-minimalis.blogspot.com

          Hari ini adalah hari minggu. Minggu yang cerah di pertengahan bulan April. Di sebuah kamar dalam sebuah rumah dengan arsitektur kuno, Fara bangun dengan malas, tapi ia tetap memaksakan diri. Sudah jam 5 pagi dan ia sudah terlambat sholat subuh. Semalam ia dan teman-teman kost-nya begadang untuk merayakan ulang tahunnya ke-29. 
          Sebenarnya, merayakan ulang tahun adalah sesuatu yang belum pernah ia lakukan. Tetapi karena teman-teman kost-nya sudah mempersiapkan banyak hal untuk merayakan ulang tahunnya, jadi ia ingin menghormati jerih payah teman-temannya itu.
          Disini, di rumah ini, Fara hidup dengan empat orang gadis. Jadi, ada lima orang gadis tinggal di rumah ini. Lima orang gadis dengan karakter berbeda, tetapi bersahabat baik. Dengan merekalah Fara tadi malam menghabiskan waktu, begadang hingga pukul 2 dini hari. Bercerita tentang masa kecil, juga harapan akan masa depan. Diselingi dengan candaan khas gadis lajang. 
          Dan inilah teman-teman Fara itu.
         Yang pertama bernama Anita, ia adalah sang pemilik rumah alias ibu kost. Meskipun tentu saja, Anita ini belum menjadi ibu-ibu. Ia anak pengusaha bahan bangunan di kota lain. Ketika Anita kuliah di kota ini, orang tuanya membelikannya rumah yang ditempatinya sekarang. Karena rumahnya cukup besar, jadilah Anita juga menerima anak kost di rumahnya. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui, begitu peribahasa mengatakan. Jadi, selain Anita punya teman di rumahnya yang besar, ia juga mendapat penghasilan dari pembayaran kost. Dan Fara adalah anak kost terlama di rumah ini. Dulu, Fara memang satu kampus dengan Anita, sama-sama di Jurusan Teknik Sipil. Waktu orientasi mahasiswa, mereka satu kelompok, saling berkenalan, dan akhirnya Anita menawari Fara untuk kost di rumahnya. Itulah awal persahabatan Fara dan Anita. Sekarang, Anita diminta ayahnya untuk mengurusi toko bahan bangunan di kota ini. Setelah Anita lulus kuliah, orang tuanya memang membuatkan toko untuk dikelola. Darah pengusaha benar-benar mengalir deras dalam darah Anita. Baru lima tahun toko itu sudah berkembang pesat sekarang.
          Orang kedua bernama Dewi. Ia Pegawai Negeri Sipil di Sekretariat Daerah Kabupaten. Orangnya cantik dan selalu chick dengan semua yang dipakainya. Dewi berusia 27 tahun, dan kabarnya ia sering gonta-ganti pacar sejak masa kuliahnya. Kalau di tanya kenapa ia melakukannya, jawabnya, “karena aku ingin mendapatkan yang terbaik.” Benarkah? Entah. Tapi itu keyakinan Dewi. Sekarang, ia sedang pacaran dengan seorang pegawai bank. 
          Orang ketiga bernama Rahma, seorang mahasiswa hukum tingkat dua. Ia kuliah disana karena ayahnya yang menginginkannya. Ayahnya adalah seorang hakim yang terkenal bijaksana. Tapi rupanya ia tak cukup bijaksana dengan memaksa anaknya untuk mengikuti jejaknya, padahal anaknya tak ingin. Sepertinya, Rahma seorang anak yang patuh pada orang tua. Lihatlah! Meski ia bercita-cita menjadi seorang penulis, ia tetap menuruti ayahnya kuliah di Fakultas Hukum. Tapi pada teman-temannya di kost, Rahma pernah berkata, bahwa ia akan mengambil keuntungan dari ayahnya. Karena itu ia menuruti ayahnya, agar ayahnya membiayai kuliah dan hidupnya, sedang ia tetap bisa melanjutkan hobinya. Jadi, meski menuruti ayahnya, ia tak pernah sekalipun mengubah cita-citanya. Ia hanya mencoba bersikap realistis.
          Yang terakhir adalah seorang gadis muda berusia 20 tahun, namanya Linda. Ia bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Meski “hanya” lulusan SMK, ia seorang yang cerdas. Cita-citanya menjadi seorang akuntan. Tetapi di desa, ayahnya hanya seorang tukang becak dan ibunya seorang buruh cuci, jadi sekarang Linda ingin mengumpulkan uang dulu untuk mendaftar kuliah. Ia gadis yang ceria dan selalu memandang hidup dengan optimis. Semua anak kost menyayanginya, mereka menganggap Linda sebagai adik bungsu. Hanya Rahma yang sering berulah dan bertengkar dengan Linda. Mungkin karena mereka seumuran. Linda juga meminta Anita untuk mempekerjakannya dengan membersihkan rumah dan memasak, imbalannya ia bebas uang kost. Jadi, ia bisa menabung lebih banyak untuk kuliahnya nanti.
          Sedang Fara sendiri adalah seorang PNS di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Sudah enam tahun ia bekerja disana, sejak ia lulus kuliah di usia 23 tahun. Teman-teman Fara menilai, Fara adalah seorang yang kompeten di bidangnya. Mereka selalu melihat Fara mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya. Tapi bagi Fara sendiri, ia hanya tak suka menjadi orang yang gampang menyerah. Jadi, meski sulit ia tetap akan berusaha menyelesaikan pekerjaannya.
Ilustrasi: Inilah para penghuni kost Anita
Sumber: deloiz.blogspot.com

***---***

          Ponsel Fara terus berbunyi saat ia sholat. Selesai sholat, Fara segera menyambar ponselnya dan melihat ke layar yang menunjukkan kata “Ibu Tersayang”. Berarti itu panggilan dari  ibunya.
          “Assalamu’alaikum, ibu,” sapa Fara. 
          “Wa’alaikum salam,” jawab Ibu Fara yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan biasa seperti bagaimana kabarnya, Fara sudah sholat belum, bagaimana makannya, bagaimana pekerjaannya dan lain sebagainya. Tetapi sebenarnya pertanyaan terpenting adalah yang terakhir.
          “Kamu sudah 29 tahun, kapan menikah?,” itu pertanyaan terakhir dari ibunya.
          Fara segera menghela nafas mendengar pertanyaan ibunya. Pertanyaan itu sebenarnya bukan pertanyaan baru. Sejak Fara lulus kuliah, hingga sekarang usianya 29 tahun, itu adalah pertanyaan rutin dari ibunya. 
         “Ibu, bukankah Fara sudah menyerahkannya pada ibu?,” jawab Fara, yang artinya Fara bersedia kalau dijodohkan oleh ibunya. 
          “Menyerahkan apanya. Bahkan kamu sudah menolak lima orang yang ibu ajukan,” jawab ibu kesal.
          “Baru tiga, ibu,” ralat Fara. 
          “Lima,” kata Ibu.
          “Tiga,” kata Fara.
          Dan akhirnya mereka kembali berdebat. 
          “Pokoknya ibu tidak mau lagi repot-repot mencari kalau kamu terus menolaknya. Kamu harus segera mencari sendiri menantu untuk bapak dan ibumu yang sudah tua ini.”
          “Ah ibu......,” Fara mau membujuk ibunya. Tapi ibu sudah menutup teleponnya. 
          Fara meletakkan ponselnya dan berfikir. Menikah. Kata itu kembali mengganggunya. Kenapa tekanan itu semakin kuat ketika mendekati usia 30? Meski ia meyakini, bahwa seseorang yang tepat akan datang pada waktu yang tepat untuknya, tetap saja ia harus memikirkan bapak dan ibunya yang selalu memikirkan dirinya yang belum menikah di usia menjelang 30 tahun ini. 

***---***

              Setelah menerima telepon, Fara keluar ke halaman untuk berolah raga di hari minggu. Tapi tak seperti biasanya, halaman rumah Anita yang luas masih sepi. Teman-teman kost-nya rupanya benar-benar kelelahan akibat begadang tadi malam. Bagi Fara yang saat ini sedang galau, malah lebih menyukai ketenangan ini. Kemudian ia berlari mengelilingi halaman rumah, berharap bisa melepaskan segala kegalauannya, sampai ia kelelahan.
              Fara benar-benar kelelahan, hingga ia berbaring di rerumputan sambil memandang langit. Nafasnya agak tersengal akibat ia terlalu memaksakan diri untuk terus berlari tadi.
              “Tangkap!” suara Anita mengagetkan Fara.
              Sebuah botol air mineral melayang ke arah Fara. Meski kaget, Fara dengan sigap menangkapnya. Fara duduk dan meminum airnya.
              Anita duduk di samping Fara.
              “Kenapa kau? Berlari-lari seperti orang gila,” tanya Anita. Rupanya ia sudah lama memperhatikan kelakuan Fara.
              Tak menunggu jawaban, Anita bertanya lagi, “apa lagi-lagi ibumu menyuruhmu segera menikah?”
              “29 tahun. Kenapa pertanyaan itu menjadi semakin sering?,” tanya Fara lebih pada dirinya sendiri.
              “Apa orang tuamu tak pernah bertanya? Usia kita kan sama.” Fara menoleh pada Anita.
              “Tentu saja pernah. Tapi, jauh-jauh hari aku sudah memberi pengertian pada orang tuaku. Karena aku hanya akan menikah dengan caraku. Kalaupun jodoh itu belum datang, aku katakan pada mereka kalau jangan pernah memaksaku. Kalau tidak, aku akan lari dari mereka. Hehehe........” Anita mengakhiri kalimatnya dengan tertawa kecil, membuat Fara menoleh padanya dengan ekspresi aneh.
              “Yah......... sebenarnya aku sedikit mengancam mereka,” lanjut Anita.
              “Kau hebat bisa mengancam orang tuamu,” kata Fara sedikit sinis, tak setuju dengan cara Anita.
              “Kau tahu kan, mereka sangat menyayangiku karena aku putri mereka satu-satunya. Kalau kakak-kakakku yang lari, orang tuaku tak akan terlalu khawatir. Tapi, mereka benar-benar takut aku lari sungguhan kalau mereka memaksaku menikah. Itu saja, itu bukan benar-benar ancaman kan?,” kata Anita.
              “Dan kau sendiri, apa kau sudah punya calonnya?” tanya Fara curiga. Anita menggeleng. Tapi kemudian menjawab karena Fara terus memandanginya dengan pandangan menyelidik.
              “Ah, sebenarnya ada seseorang yang aku sukai,” jawab Anita masih penuh misteri, karena ia sama sekali tak mau mengatakan siapa orangnya. Kemudian ia melenggang meninggalkan Fara yang masih bertanya-tanya.
              “Hei, kau mau kemana? Kau belum menjawabnya,” teriak Fara.
              “Aku mau tidur lagi. Masih ngantuk,” teriak Anita pula.
              “Anak gadis tak baik tidur lagi setelah subuh,” teriak Fara lagi.
              Tapi Anita hanya menjawab dengan lambaian tangannya, seakan jawabannya, “ah, kau kuno sekali.”  
              Fara jadi kesal dan mengikuti Anita masuk rumah. Anita masuk kamar lagi, sedang Fara menuju dapur. Linda sudah memasak untuk sarapan mereka. Fara lalu sarapan ditemani Linda.
              “Sudahlah Mbak Fara, tidak usah terlalu difikirkan. Nanti kalau sudah saatnya, jodoh itu akan datang kok,” kata Linda tiba-tiba. Entah darimana ia tahu kegalauan Fara.
              “Eh, anak kecil jangan ikut-ikutan ya......,” elak Fara. Malu dinasehati seorang yang lebih muda darinya.
              “Begini lho Mbak, aku punya tetangga yang sampai umur 40 tahun belum menikah. Padahal orangnya baik banget, guru ngaji lagi. Wajahnya juga tidak jelek. Tapi dia sabar banget lho Mbak, triman........”
              “Ternyata jodohnya datang di usia itu. Sekarang dia sudah menikah dengan seorang pedagang sembako sukses. Sudah duda memang, punya anak dua, putri semua. Anak-anaknya juga sayang sama tetanggaku itu,” cerita Linda antusias. Sedang Fara mendengarkan sambil mempermainkan makanan di piringnya.
              “Menurutku yang paling penting, sabar dan berdo’a, Mbak. Aku juga pasti bisa!” kata Linda tiba-tiba penuh semangat, mengagetkan Fara yang setengah melamun.
              “Kau juga mau menikah?” tanya Fara kaget.
              Seperti tak mendengar pertanyaan Fara, Linda berkata, “Berapa lama lagi ya, tabunganku cukup untuk kuliah?” Mata Linda menerawang penuh harapan.
              Ah....... ternyata itu yang dipikirkan Linda, yang sama sekali tidak nyambung dengan tema pembicaraan mereka. 
              Tapi melihat semangat Linda, Fara jadi bersemangat pula. “Jodohku, aku akan sabar menantimu,” bisik hatinya.
Ilustrasi: Pernikahan impian Fara
Sumber: www.selamber.org

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images